Tiba2 pagi ini, ingin menulis tentang Bokashi-106. Sebagian teman2 saya di Bandung atau di Jakarta pastinya masih ingat nama Bokashi-106.
Supaya tidak salah saya kutipkan dulu pengertian mengenai bokashi yang saya dapatkan dari wikipedia.
Bokashi is a method that uses a mix of microorganisms to cover food waste to decrease smell. It derives from the practice of Japanese farmers centuries ago of covering food waste with rich, local soil that contained the microorganisms that would ferment the waste. After a few weeks, they would bury the waste. Some weeks later it would become soil.[15]
Most practitioners obtain the microorganisms from the product Effective Microorganisms (EM1),[15] first sold in the 1980s. EM1 is mixed with a carbon base (e.g. sawdust or bran) that it sticks to and a sugar for food (e.g. molasses). The mixture is layered with waste in a sealed container and after a few weeks, removed and buried.[15]
Newspaper fermented in a lactobacillus culture can be substituted for bokashi bran for a successful bokashi bucket. [16]
Itu kira2 definisi dari bokashi, dalam bahasa saya bokashi adalah kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan2 organik dengan bantuan microorganism. Dan microorganism yang saya gunakan, karena banyak didapat dari toko2 pertanian di Bandung dan Jakarta , adalah Effective Microorganism 4 (EM4).
Kembali ke tahun 1998, pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis moneter, dan berdampak terus terang bagi kehidupan pribadi saya, karena pada tahun 1997, saya memutuskan keluar dari pekerjaan di Bursa Efek Jakarta, dan ceritranya mau buat usaha di Bandung.
Ternyata bagi saya, yang sudah ‘kulino’ terima gaji bulanan, tiba2 sok pengin jadi wiraswasta tidak lah mudah. Pertama begitu keluar dari BEJ saya ikutan dagang saham (jual beli) awalnya enak, setiap hari bisa dapat untung, tetapi begitu Agustus 1997, harga2 saham rontok saya tidak siap untuk jual saham2 sehingga nilai portofolio saya jeblok.
TIba2 mungkin Allah memberikan jalan kepada saya, ingat punya tanah secuil di Cisarua Bandung Barat, dan terbersit untuk memanfaatkan tanah tersebut dengan berkebun. Mulailah saya bersihkan tanah yang hanya 1100 meter2, dan nanam pepaya. Saking penginnya pepaya tumbuh cepat maka setiap dua minggu sekali, pohon papaya tersebut saya siram dengan air yang sudah tambahin pupuk kimia.
Beberapa bulan kemudian, saya ajak teman saya yang sarjana pertanian untuk lihat kebun papaya saya, eeee komentar dia, semua tanaman saya “terbakar” karena kebanyakan pupuk kimia. Memang tampak sekali daunnya seperti terbakar. Kata dia pemupukan mah cukup enam bulan sekali. Saran dia, kalau mau sih kasih saja, pupuk organik alias kompos , karena kalau kompos tidak akan ‘membakar pohon’ walaupun diberikan dalam jumlah yang banyak alias berlebih.
Setelah ngobrol dengan istri, yang kebetulan, atau yang sebenarnya seorang dosen di UNPAD, besoknya dia ajak temannya yang ahli microbiologi dan menganjurkan saya untuk buat bokashi! Apa itu bokashi? , tanya saya.
Dia terus menerangkan, bahwa pembuatan kompos pada dasarnya adalah proses pelapukan dan penguraian bahan2 organik sehingga hasil akhirnya menyerupai tanah dan sangat kaya akan nutrisi yang baik untuk tanaman yang dikenal sebagai kompos.
Dia kemudian menerangkan bahwa komposisasi bisa dilakukan secara tradisional, yaitu menyimpan dan menimbun bahan2 organik di satu tempat dan menjaga suhu maupun kelembaban nya dan setelah beberapa waktu (bisa 6 bulan sampai setahun) maka bahan2 tersebut akan melapuk dan terurai dan berubah bentuk menjadi bahan kompos. Proses semacam ini disebut proses komposisasi secara aerob. Artinya menggunakan jasat renik atau microorganism yang suka dengan O2.
Tetapi kata dia, ada ‘teknologi’ baru yang datangnya dari Jepang, yaitu melakukan proses komposisasi secara anaerob. Yaitu menyimpan tumpukan bahan2 organik yang diberi jasat renik yang an-aerob, yaitu tidak suka O2, Untuk itu tumpukan tersebut harus ditutup rapat, sehingga kedap terhadap O2 dan jasa renik nya akan cepat berkembang dan mengurai bahan2 organik menjadi kompos. Proses ini, dengan bantuan jasat renik anaerob, membutuhkan waktu proses lebih cepat , bahkan bisa hanya 5-7 hari saja. Nah jasat renik yang anaerob bisa diperoleh dari toko2 yaitu berupa cairan EM4.
Dengan penuh semangat saya buat belumbang di kebun dan saya mengumpulkan banyak bahan organik, gedebog pisang yang dicacah, dedaunan yang ada juga dicacah , jerami dsb dan saya masukkan ke belumbang kemudian disiram dengan larutan EM4 yang sudah diberi molase (untuk makanan si jasat renik nya) kemudian ditutup rapat pakai terpal plastik.
Percobaan pertama gagal, karena kriteria keberhasilannya adalah jika bahan2 tersebut sudah berubah bentuk dan berbau asem seperti tape, karena pada dasarnya adalah proses fermentasi. Sedangkan hasil yang saya peroleh bau busuk yang sangat menyengat , dengan kemungkinan bakteri lain yang berkembang.
Segera juga saya googling internet mengenai proses membuat bokashi, dan akhirnya menemukan proses pembuatan bokashi yang praktis, yaitu menggunakan bahan2 dari serbuk gergaji, sekam padi, dedak padi dan molase yang dicampur dengan perbandingan volume tertentu dan diaduk rata serta disimpan dalam kotak kayu yang sudah dipersiapkan.
Karena di daerah lembang banyak pangkalan gergajian kayu dan produk limbahnya berupa serbuk gergaji yang boleh diambil secara gratis dan di sekitar saya kebun banyak limbah sawah (jerami), maupun hasil proses padi menjadi sawah, yaitu dedak dan sekam. Maka segera saya buat saung untuk ‘pabrik’ bokashi. Saat ingat banget untuk membuat ‘pabrik’ ini saya mencairkan DPLK saya yang isi dananya tidak seberapa demi mewujudkan impian punya ‘pabrik’ bokashi.
Setelah ‘pabrik’ terbangun, yaitu berupa saung bambu ukuran 5×10 meter, kemudian saya buat kotak2 kayu, ukuran 120x60x20 cm, dan terbuat dari kayu pinus (terimakasih kepada teman saya pak Haji Kaelani yang ngajak saya ke Cirebon untuk beli papan dari kayu pinus dengan harga murah).
Proses percobaannya adalah semua bahan organik sebagaimana saya sebutkan diatas diaduk rata, disiram dengan larutan air + molase + cairan EM4. Dan kemudian adukan disimpan dalam kotak dan ditutup dengan terpal plastik supaya bener2 kedap udara.
Penasaran baru dua hari saya buka, diperoleh hasil adukan yang panas sekali, hingga 70 derajat celsius. Kembali ditutup dan setelah lima hari, dibagian atas nya timbul jamur2 putih dan semua adukan berbau asem enak, baunya yang menunjukkan proses fermentasi sudah berhasil.
Kemudian adukan dibuka dan didinginkan dan setelah dingin di ayak, dan hasil ayakan adalah berupa kompos. Warna serbuk gergaji yang semua putih berubah menjadi coklat tua seperti tanah.
Hasil olahan pertama saya coba berikan kepada teman2 dan coba untuk untuk memupuk tanaman dikebun maupun di rumah. Dan subkhanalloh, setelah beberapa waktu tanaman terlihat subur dan daun kelihatan segar2.
Dan karena tujuan punya pabrik untuk produk yang bisa dijual, maka saya siapkan kemasan, tapi bingung ngasih nama apa terhadap porduk bokashi saya ini. Sedang ngobrol sama istri mengenai nama produk, tiba2 anak saya yang kecil, nyletuk kasih aja nama Bokashi-106? Kenapa ? Ya berat badan Abah kan 106 kg. Hahahaha. Rupanya dia protes, karena lihat abahnya baru nimbang badan, dan beratnya 106 kg.
Siyap! Setuju nama bokashi-106 untuk segera dipasarkan. Jumlah kotak untuk pembuatan Bokashi-106 ditambah, ke Cirebon lagi dengan Pak Haji Kaelani, dan sekaligus hunting mencari dedak. Karena dedak di heleran yang ada disekitar kebun saya tiba2 habis, karena diborong orang untuk makanan ternak, yang merupakan dampak dari krismon, peternak mencari bahan makanan ternak alternatip dan yang lebih murah yaitu antara lain dengan memberikan dedak ke ternak2nya.
Ternyata di Cirebon harga dedak juga naik, yang semua awal 1998 hanya Rp. 500 per kg naik sampai Rp. 800,- bahkan Rp. 1000,- itupun harus indent. Sedangkan kalau serbuk gergaji tetap bisa diperoleh secara gratis dengan hanya memberi ongkos pengarungan kepada pegawai pangkalan gergajian kayu.
Sekalian ke Cirebon, saya mampir ke pabrik gula di majalengka untuk beli molase. Ternyata untuk beli satu drum molase saya harus ke kantor pabrik Rajawali di Cirebon dan mambayar di sana kemudian membawa surat DO balik pabrik majalengka untuk mengambil molasenya.
Lanjut, bokashi-106 mulai dikenal orang saya jual, sampai ke sukabumi , brebes, serang disamping penjualan melalui internet, sehingga kapasitas produksi bisa 2 ton per minggu.
Problem mengenai harga, masak kompos dipatok dijual dengan harga Rp. 1,300 per kemasan 800 gram. Mana ada orang mau? Kiat nya, saya sebut bahwa bokashi-106 adalah kompos starter, artinya penggunaan nya harus dicampur dengan bahan organik yang ada di sekitar rumah dan baru campuran tersebut yang digunakan untuk pemupukan. Dan memang seperti itu yang dianjurkan yang saya baca di salah satu website di internet.
Untuk memburu bahan baku, terutama dedak, saya seminggu sekali dengan membawa karung pergi ke cianjur bahkan sampai sukabumi, setiap ada heleran padi saya masukin, dan ada yang kasih sekarung ada yang dua karung. dengan harga per kilo gram dedak bervariasi.
Satu saat saya dapat info bahwa di Arjawinangun Cirebon ada dedak dijual hanya Rp. 500,- . Ternyata isinya bukan murni dedak, hasil ayakan dari sekam, tapi justru sekam yang digiling dan menyerupai dedak. Tidak terbayang oleh saya bagaimana gilingan sekam (yang keras dan tajam) dijadikan makanan ternak.
Berlanjut ingin tahu komposisi dari Bokashi-106, maka saya bawa sample nya ke Sucofindo untuk diperiksa, terutama ingin tahu C/N Rationya. Hasil dari Suconfido, seingat saya C/N Ratio cukup bagus, hanya ada perbedaan antara bokashi yang berbahan baku utama serbuk gergaji dari kayu pinus dan kayu albasia. Yang pinus, kadar Fe nya lebih tinggi dari yang albasia.
Pantesan jika yang berbahan Pinus jika diaplikasikan ke tanaman, kesuburan daun lebih menonjol, karena adanya Fe tersebut.
Salah satu feedback yang saya peroleh dari pemakai Bokashi-106 adalah tanaman buah dalam pot yang bertahun2 tidak berbuah, setelah di kasih bokashi-106 jadi berbuah.
Pemakai Bokashi-106 makin banyak bahkan setelah saya titipkan ke satu toko pertanian hanya 25 bungkus, yang semula tidak mau terima, eeee. pada satu saat toko tersebut secara kontinyu pesan 100 bungkus kemasan.
Ketika bokashi-106 tersebut sudah mulai dikenal, saya dipaksa untuk meninggalkan ‘pabrik’ saya yaitu saung ukuran 5×10 meter itu, karena ditawarin tugas ngantor lagi di Jakarta. Walaupun masih sempat berjalan, karena tidak fokus lagi akhirnya ‘pabrik’ saya mangkrak.
Sekarang dalam skala kecil di rumah saya juga masih suka bikin bokashi untuk keperluan sendiri. Di samping itu saya sekarang juga membuat kompos melalui cacing. Lain kali saya tulis tentang kascing. Juga mendatang saya akan tulis pengalaman sebagai pekebun papaya.
Mau hidup sehat dan bugar, jangan lupa Ayun Tangan 30 menit perhari.
One thought on “Bokashi-106 (1998)”
Comments are closed.