Semula pada waktu topik ini saya tulis, saya ceritra panjang tentang budaya antri, dari kondisi saling serobot untuk segera dilayani di pelbagai tepat yang sebelumnya sering kita lihat, sampai penerapan teknologi untuk mengatur antrian.
Tapi kemudian saya pikir tidak perlu terlalu panjang, saya hanya mlihat bahwa kondisi sekarang jauh lebih baik daripada 10 tahun, 20 tahun atau bahkan 40 tahun yang lalu.
Budaya manusia berubah, selain karena mungkin tingkat pendidikan rata2 masyarakat yang meningkat sehingga timbul kesadaran bahwa kita perlu mengantri jika banyak orang yang sedang menunggu satu pelayanan.
Singkat ceritera ternyata dengan penerapan prosedur kerja dan atau teknologi, budaya nganteri bisa berubah.
Contohnya antrian di loket bank bisa dilakukan hanya dengan memberikan nomor urut antrian pada saat orang memasuki area pelayanan bank, yang lebih canggih lagi menggunakan teknologi yang bisa mencetak nomor antrian.
Antrian di pintu tol, meskipun masih ada saling serobot, jika jumlah pintu yang dibuka terbatas, padahal mobil yang ngantri panjang.
Yang sangat berubah adalah antrian masuk atau keluar stasiun KRL. Dengan penerapan sistem tiket elektronik sejak Juli 2013, menjadikan calon penumpang yang mau masuk stasiun mau secara tertib berubah, karena untuk bisa masuk atau keluar harus menggesek kartu eleknoniknya melalui pintu turnstile di stasiun.
Jika sempat silahkan perhatikan di stasiun2 KRL mulai yang sangat sibuk di Bogor atau stasiun Sudirman , Tanah Abang, pada jam2 sibuk akan terlihat antrian yang tertib penumpang masuk atau keluar stasiun.
Sedang antrian taksi di beberapa mal, saya lihat sudah tertib, jika manajemen mal menerapkan atau menyediakan tempat antri, misalnya di Grand Indonesia atau Kokas. Sedangkan sayangnya manajemen pusat belanja thamrin city belum menyediakan tempat antri taksi, sehingga pada jam sibuk terlihat calon pemakai jasa yang membutuhkan taksi rebutan jika ada taksi datang.
Yang menarik di SPBU, antrian pemakai motor juga mulai tertib.
Begitu juga di tempat2 ATM. Kemarin, Sabtu 10-01-2015 saya lihat di Cicurug Sukabumi, pada karyawan pabrik ngantri panjang di ATM untuk mengambil gajinya.
Cuman catatan saya, sangat disayangkan bahwa penyediaan loket atau server atau gate atau jumlah ATM kagang2 tidak memadai dan juga walaupun loket sudah tersedia, tapi tidak semua dioperasikan. Seperti halnya di RSCM, Senin minggu lalu, saya lihat ada antrian sampai 10-15 orang, hanya dilayani satu petugas loket padahal tersebut tiga loket untuk pelayanan pasien bayar tunai. Kenapa pada saat antrian panjang dua loket lainnya tidak dibuka?
Kita ingat berita ketika MenBUMN Dahlan Iskan memaksa membuat gate pintu tol, gara2 di pagi hari dia lihat antrian mobil panjang hanya dilayani satu pintu masuk tol, di pintu tol semanggi,
Kembali ke masalah antrian di ATM yang saya lihat di Cicurug, manajemen bank selayaknya menambah jumlah ATM jika panjang antrian sampai 20-30 per cluster mesin ATM.
Manajemen pasti berpikir, kalau disediakan banyak unit ATM, nanti diluar hari gajian ATM akan banyak nganggur. Dalam ini perlu dipertimbangkan menerapkan queuing theory untuk menghitung jumlah server untuk melayani pelanggan sesuai dengan statistik pemakaian ATM atau pengunjung ke loket.
Perlu sedikit survey dan melakukan perhitungan sederhana, dan menerapkan manajemen tingkat pelayanan ( atau service level management ) yang saya pikir sudah banyak pakar nya di Indonesia. Atau banyak juga software sederhana untuk simulasi antrian untuk menghitung ketersediaan minimal jumlah ATM atau loket yang harus dioperasikan.