Agama dan akal

————————

Agama dan Akal: Dua Cahaya yang Saling Menerangi

الدِّينُ هُوَ الْعَقْلُ، وَمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ

“Agama adalah akal, dan tidak ada agama tanpa akal.”

Ungkapan ini sering dikaitkan dengan Imam ʿAlī bin Abī Ṭālib رضي الله عنه, meskipun tidak tercantum dalam hadis sahih dan asal-usul sanadnya tidak jelas.

Kendati demikian, maknanya sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan akal (‘aql) sebagai karunia Ilahi untuk memahami wahyu dan menjalankan syariat.

Tanpa akal, manusia tidak dibebani kewajiban agama. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi ﷺ

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Telah diangkat pena (pencatat amal) dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga ia berakal.”

— (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

Dalam kehidupan modern, pesan hikmah ini tetap relevan. Islam tidak menghendaki ketaatan buta, melainkan mengajak umatnya untuk berpikir, menimbang, dan memahami dengan akal yang sehat.

Dengan demikian, iman dan akal bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua cahaya yang saling menerangi — menuntun manusia menuju kebenaran dan kebijaksanaan.

Penulis tidak tercantum.